Membuka Tirai Rahasia Mei bagi GMIT
Kupang, Pena Rohani - Mengapa Bulan Bahasa dan Budaya penting bagi GMIT - Setiap kali bulan Mei menyapa, ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pergantian waktu. Di balik helai kalender yang berderik pelan, tersembunyi rahasia besar yang kini dibuka dengan lantang: Rahasia Mei terbongkar. Inilah saat istimewa ketika Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) kembali memeluk akar budayanya sendiri, dalam pelukan hangat iman kepada Sang Khalik.
Mei bukan sekadar bulan. Bagi GMIT, Bulan Bahasa dan Budaya adalah altar kehidupan yang dipenuhi warna, suara, dan kisah warisan nenek moyang. Dalam bulan ini, budaya menjadi ibadah, bahasa menjadi pujian, dan identitas menjadi kesaksian.
Mengapa Bulan Bahasa dan Budaya Penting bagi GMIT?
1. Apa Itu Bulan Bahasa dan Budaya GMIT?
Setiap tahun, GMIT menetapkan bulan Mei sebagai Bulan Bahasa dan Budaya. Melalui ibadah bernuansa etnik, tarian tradisional, syair dan musik lokal, tenunan khas, serta liturgi yang diperkaya dengan bahasa daerah jemaat diajak kembali ke asal: ke kearifan lokal yang selama ini menjadi napas kehidupan spiritual di tanah Timor dan sekitarnya.
Di sinilah makna Bulan Bahasa dan Budaya GMIT mengemuka: bukan hanya soal tampilan luar, tetapi tentang pemaknaan batin akan iman yang hidup di tanah sendiri, dalam bahasa sendiri, dan melalui budaya sendiri.
2. Kapan dan Di Mana Bulan Ini Dirayakan?
Dimulai dari Minggu pertama di bulan Mei, seluruh jemaat GMIT dari pelosok desa di Alor hingga sudut-sudut kota di Kupang, bersatu merayakan warisan budaya dalam ibadah. Bahkan dalam suasana liturgis yang menyatu dengan Hari Kenaikan dan Pentakosta, Bulan Mei Bahasa dan Budaya GMIT menjadi momentum perjumpaan teologi dan tradisi.
Menggali Tujuan Bulan Bahasa dan Budaya GMIT
Mengapa GMIT Merayakan Budaya?
GMIT bukan hanya gereja ia adalah ruang hidup dari ratusan etnis, bahasa, dan warisan budaya. Merayakan bulan ini berarti mengakui bahwa budaya bukan sekadar identitas, tetapi juga wahyu akan kasih dan keadilan Allah. Di sinilah terlihat jelas tujuan Bulan Bahasa dan Budaya GMIT:
-
Meneguhkan identitas sebagai umat berbudaya
-
Menjadi saksi Kristus dalam konteks budaya masing-masing
-
Menyuarakan keadilan dan kebaikan melalui nilai-nilai lokal
Dalam tema 2025: "Yesus yang Bangkit Membarui dan Memulihkan Budaya yang Saling Berbagi dan Merangkul Perbedaan", GMIT menegaskan bahwa Kristus bukan hanya hadir dalam doa dan nyanyian, tetapi juga dalam tarian, tenun, dan tutur adat.
Menelusuri Sejarah Bulan Bahasa dan Budaya GMIT
Dari Tradisi ke Liturgi
Bulan ini bukanlah program yang tiba-tiba hadir. Ia lahir dari pergumulan panjang GMIT dalam melihat bagaimana Injil dapat mendarat secara utuh dalam kehidupan umat. Sejak awal, GMIT memahami bahwa Injil yang tidak menghargai budaya adalah Injil yang kehilangan makna di hati jemaat. Maka, sejak lebih dari satu dekade lalu, perayaan budaya menjadi bentuk konkret dari inkulturasi iman. Semua ini secara unik dikemas melalui Tata Ibadah Bulan Bahasa dan Budaya 2025.
Iman yang Berakar di Tanah Sendiri
Dalam setiap lagu syair dalam bahasa Sabu, dalam tarian lego-lego dari Alor, dalam suling Feku dari Timor, dalam tuturan Rikou dari Rote, bahkan dalam tenun ikat yang dirajut oleh tangan lembut perempuan-perempuan GMIT terdapat pesan:
"Kami adalah tubuh Kristus yang berbudaya. Kami adalah gereja yang hidup dalam sejarah kami sendiri."
GMIT dan identitas budaya menyatu dalam satu roh: roh yang tidak hanya berkhotbah, tetapi juga menari, menenun, dan menyanyikan Injil dalam irama lokal.
Pelestarian Bahasa dan Budaya GMIT
Bagaimana Kita Merayakannya?
-
Melibatkan generasi muda dalam musik tradisional dan bahasa daerah
-
Menata ibadah dengan nuansa etnik sesuai konteks jemaat
-
Menghidupkan kembali syair, doa, dan nyanyian adat dalam liturgi
-
Membentuk komunitas kreatif budaya gereja
Dari Mei ke Misi
Biarlah rahasia Mei yang kini telah terbongkar menjadi terang bagi dunia. Kita tidak hanya dipanggil untuk percaya tetapi untuk menjaga, merawat, dan mewariskan iman kita dalam bahasa sendiri, budaya sendiri, dan tanah sendiri.
Injil bukan untuk menjajah budaya, tetapi menebusnya. Maka dari itu, GMIT berjalan dalam misi yang berakar sebuah gerakan yang memadukan kasih Allah dengan identitas etnis, membawa terang Kristus lewat tenunan tradisi yang diwariskan oleh leluhur.
"Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk." - (Markus 16:15)
Ayat ini menegaskan panggilan universal gereja untuk bersaksi dan bagi GMIT, dunia itu bermula dari tanah Timor, dari syair Sabu, dari irama gong Alor, dari anyaman Rote. Di sanalah kabar baik menjadi nyata, seturut budaya yang dihormati.
Written by : lomangyakob, pengaj.; editor: penaRadmin
© 2025 All Right Reserved - Designed by penarohani
0Comments