TUA6BSG5BUA5BUA5TfGpGpdoTd==
Light Dark
Pandangan Kristen tentang Fitnah dan Hoax di Era Digital

Pandangan Kristen tentang Fitnah dan Hoax di Era Digital

Ini Tulisan, berharap anda baca secara lengkap: Pandangan Kristen tentang Fitnah dan Hoax di Era Digital. Ini lagi viral dibicarakan.
Table of contents
×
Daftar Isi [Tampil]

Pandangan Kristen tentang Fitnah dan Hoax di Era Digital

I. Ketika Kebenaran Tersesat di Tengah Derasnya Informasi

Pena Rohani - Pandangan Kristen tentang Fitnah dan Hoax di Era Digital - Bayangkan sebuah sungai deras yang membawa ribuan pesan setiap detiknya. Di sana, kebenaran sering kali cuma setetes air jernih yang terselip di antara lumpur fitnah dan buih hoax yang menari-nari di permukaan. Kita berenang di dalamnya dalam dunia yang setiap harinya dibanjiri oleh berita, status, video, potongan chat, hingga pesan berantai yang entah dari mana asalnya. Dan tanpa sadar, jari-jari kita ikut menjadi dayung yang menyebarkan arus, entah menuju damai atau justru badai.

Di zaman digital ini, hoax bukan lagi cerita orang iseng di warung kopi. Ia menjelma jadi monster maya terselubung rapi dengan judul mencolok, suara lantang, dan “katanya” yang terdengar sangat meyakinkan. Fitnah pun ikut menari, tak lagi lewat bisik-bisik tetangga, melainkan dalam bentuk share-an WhatsApp atau postingan Facebook yang viral dalam hitungan menit.

Di tengah pusaran inilah, iman Kristen kita diuji. Bukan soal bisa berdoa panjang atau hafal Mazmur, tapi soal: apakah kita turut menjaga lidah, jempol, dan hati agar tidak menjadi saluran kebohongan?

Artikel ini akan mengajak kita menelusuri pandangan Kristen tentang fitnah dan hoax bukan sekadar secara teologis, tapi juga praktis dan reflektif. Sebab masalah ini bukan hanya soal benar atau salah, tapi tentang bagaimana kita, sebagai pengikut Kristus, membedakan bisikan kebenaran dari hiruk-pikuk kebohongan.

Pertanyaannya sekarang adalah:
Bagaimana seharusnya kita umat yang dipanggil untuk jadi terang bersikap saat dunia digital menggoda kita untuk menjadi penyebar bayangan?
Apa yang firman Tuhan katakan ketika berita palsu terasa lebih menarik daripada kebenaran yang sunyi?

Mari kita selami jawabannya perlahan, tapi pasti.

II. Memahami Makna Fitnah dan Hoax dalam Terang Alkitab

Pandangan Kristen tentang Fitnah dan Hoax di Era Digital

Pernah dengar cerita tentang burung kecil yang bernyanyi nyaring, padahal yang ia suarakan bukan nyanyian indah, melainkan kabar burung? Nah, fitnah dan hoax itu mirip seperti si burung cerewet tadi suara mereka mungkin nyaring, cepat menyebar, tapi sering kali melukai siapa saja yang mendengarnya.

Apa Itu Fitnah dan Hoax?

Secara sederhana, fitnah adalah menyebarkan kebohongan yang mencemarkan nama baik seseorang. Dalam bahasa sehari-hari, bisa kita sebut sebagai "menjelekkan orang lain dengan cerita yang tidak benar." Fitnah biasanya menyerang karakter pribadi dan sering kali berakar dari niat buruk, iri hati, atau kesenangan melihat orang lain jatuh.

Sementara hoax adalah berita palsu cerita bohong yang dibungkus seolah-olah benar. Ia bisa datang dari siapa saja, kapan saja, bahkan kadang menyamar dalam bentuk kutipan rohani yang salah tempat. Di zaman teknologi seperti sekarang, hoax bisa menyebar lebih cepat daripada kebenaran, seperti api yang menjalar di padang ilalang kering.

Bedanya? Fitnah biasanya punya target personal. Hoax bisa lebih umum menyesatkan banyak orang, bahkan satu bangsa. Tapi persamaannya satu: keduanya adalah bentuk kebohongan, dan Alkitab tidak pernah bersahabat dengan kebohongan.

Apa Kata Alkitab?

Ternyata, sejak zaman dahulu, Tuhan sudah memberikan peringatan keras soal lidah yang tak terkendali.

🔹 Mazmur 101:5 berkata:
"Orang yang sembunyi-sembunyi mengumpat temannya, dia akan Kubinasakan."
Tuhan tidak main-main ketika menyebut fitnah sebagai sesuatu yang layak dimusnahkan.
Fitnah bukan cuma masalah moral, tapi juga masalah ibadah karena lidah adalah cerminan hati.

🔹 Amsal 10:18 lebih tajam lagi:
"Siapa menyembunyikan kebencian, dusta bibirnya; siapa mengumbar fitnah, adalah orang bebal."
Fitnah diibaratkan sebagai hasil fermentasi dari kebencian. Artinya, ada luka di dalam yang sengaja ditumpahkan dalam bentuk cerita palsu di luar.

Lalu, bagaimana dengan hoax? Alkitab tidak menyebut istilah ini secara langsung, tapi prinsipnya jelas.

🔹 2 Yohanes 1:7 mengingatkan tentang banyaknya penyesat di dunia,
yang datang dengan kemasan religius tapi menyimpang dari kebenaran Kristus.

🔹 Matius 24:24 berkata:
"Sebab Mesias-mesias palsu dan nabi-nabi palsu akan muncul dan mengadakan tanda-tanda yang dahsyat dan mujizat-mujizat, sehingga sekiranya mungkin, mereka menyesatkan orang-orang pilihan juga."
Bayangkan: bahkan orang-orang pilihan pun bisa goyah kalau tidak waspada. Hoax bisa tampil sangat “rohani”, sangat meyakinkan, dan sangat viral.

Kaca Pembesar Iman

Fitnah dan hoax mungkin datang dalam bentuk yang berbeda, tapi efeknya sama: merusak, memecah, dan menyesatkan.
Kalau hidup ini adalah perjalanan menuju kebenaran, maka fitnah dan hoax adalah jalan memutar yang penuh kabut.

Sebagai orang percaya, kita tidak bisa asal share lalu bilang, “Saya cuma meneruskan.” Kita dipanggil untuk menyaring, bukan hanya menyuarakan. Karena setiap kata, setiap klik, setiap kalimat yang kita bagikan itu semua adalah cermin iman kita.

Jadi sebelum lidah atau jempol bergerak, mari kita izinkan firman Tuhan lebih dulu yang berbicara.

III. Realita Kontemporer: Ketika Hoax Menyusup ke Kehidupan Kristen

Pandangan Kristen tentang Fitnah dan Hoax di Era Digital

Kalau dulu iblis menggoda Hawa dengan buah terlarang, hari ini ia bisa menyusup lewat pesan berantai di grup WhatsApp gereja. Canggih, licin, dan sering kali pakai embel-embel “katanya dari hamba Tuhan” atau “ini pesan penting, tolong teruskan.”

Tanpa sadar, hoax dan fitnah sudah bertamu ke ruang-ruang ibadah kita bukan dalam bentuk roh-roh jahat yang menyeramkan, tapi berupa kalimat-kalimat yang terlihat rohani tapi beracun.

Contoh Nyata: Hoax di Balik Emoji dan Ayat Alkitab

Pernahkah Anda menerima pesan seperti ini?

“Hari kiamat akan terjadi tanggal sekian, sudah dinubuatkan oleh nabi X. Sebarkan kepada 7 orang agar Anda diberkati.”

Atau yang ini:

“Pendeta A terlibat aliran sesat, tolong waspada dan jangan dengarkan kotbahnya!”

Pesan-pesan seperti itu kerap beredar di grup WA jemaat kadang dari orang baik yang tulus, tapi terlalu cepat percaya. Ironisnya, kadang berita yang mereka sebar justru berasal dari sumber yang tidak jelas, atau bahkan berasal dari potongan informasi yang dikutip di luar konteks.

Ada juga bentuk lain: misinformasi seputar doktrin atau tokoh gereja, seperti menyimpulkan satu ayat lalu menjadikannya dalil untuk seluruh iman, atau menyebar rumor tentang pemimpin rohani tanpa klarifikasi. Yang lebih parah, beberapa jemaat langsung percaya karena “yang kirim senior pelayanan,” padahal belum tentu dicek kebenarannya.

Dampak Sosial dan Rohani: Luka yang Tak Terlihat

Yang paling menyedihkan, hoax rohani ini tidak hanya menyesatkan, tapi juga memecah belah tubuh Kristus.

🔸 Perpecahan Jemaat
Satu pesan hoax bisa memecah belah komunitas yang sudah bertahun-tahun dibangun dengan kasih. Ada yang memilih keluar dari grup, ada yang marah diam-diam, dan ada yang diam tapi menjauh dari gereja. Hoax, meskipun hanya berupa huruf-huruf di layar, bisa mengoyak persaudaraan iman.

🔸 Keraguan terhadap Pemimpin Rohani
Bayangkan betapa remuknya hati seorang pendeta atau penginjil yang tiba-tiba difitnah tanpa tahu dari mana asalnya. Sekali nama baik tercoreng di dunia maya, butuh waktu panjang untuk memulihkannya. Jemaat yang dulunya percaya, kini mulai bertanya-tanya, bahkan menjauh karena kabar burung yang tak berdasar.

🔸 Citra Buruk Kekristenan di Ruang Publik
Ketika orang Kristen ikut menyebarkan hoax, kita sedang menulis “kesaksian hidup” yang keliru di depan publik. Dunia luar pun mulai menilai: “Oh, ternyata gereja juga sumber berita bohong.” Padahal seharusnya, kita adalah penjaga kebenaran, bukan penggemar sensasi.

Refleksi: Di Mana Kita Berdiri?

Teknologi itu netral, tapi jari kita yang menentukan apakah ia akan membawa terang atau membakar rumah sendiri. Di tengah dunia yang haus informasi, orang Kristen dipanggil bukan hanya untuk percaya, tapi juga bijak dan berhikmat.

Seperti penjaga menara, kita harus memantau, menyaring, dan menguji setiap suara.
Karena sekali kita meng-klik “teruskan” tanpa cek, bisa jadi kita sedang menyiramkan minyak ke api yang sudah cukup panas.

IV. Sikap dan Tanggung Jawab Orang Kristen: Saat Jempol Menjadi Cermin Iman

Pandangan Kristen tentang Fitnah dan Hoax di Era Digital

Di era digital, kita semua adalah penyiar. Bukan lewat siaran radio atau mimbar gereja, tapi lewat jempol yang bisa mengetik, menyalin, dan membagikan informasi hanya dalam hitungan detik.
Pertanyaannya: apa yang sedang kita siarkan? Kebenaran, atau keributan?

Layaknya seorang juru masak rohani, setiap informasi yang kita hidangkan seharusnya mengenyangkan, bukan mengacaukan. Maka di sinilah panggilan kita sebagai orang Kristen: bukan hanya hidup dalam kebenaran, tapi juga menjaga agar kebenaran tidak ternoda oleh berita palsu.

Panggilan Menjadi Penjaga Kebenaran (Efesus 4:25)

"Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota."Efesus 4:25

Menjadi orang percaya bukan cuma soal rajin ke gereja atau fasih menyebut “Tuhan memberkati”. Kita dipanggil untuk menjadi penjaga kebenaran di rumah, di tempat kerja, dan bahkan di dunia maya.
Kalau dunia gemar menyebar sensasi, maka kita dipanggil untuk menyebar klarifikasi. Kalau dunia suka menggiring opini, kita diajak untuk menggiring pada kasih dan kebenaran.

Menimbang Sebelum Membagikan (Yakobus 1:19)

"Setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah." - Yakobus 1:19

Dalam dunia digital, ayat ini sangat relevan.
Banyak dari kita terlalu cepat mengetik, terlalu cepat klik “forward”, terlalu cepat marah membaca judul tanpa isi. Padahal Alkitab justru mengajarkan: cepatlah mendengar, lambatlah berbicara, apalagi menyebarkan.

Sebelum membagikan sesuatu, mari bertanya dulu dalam hati:

  • Apakah ini benar?

  • Apakah ini membangun?

  • Apakah ini memuliakan Tuhan?

  • Apakah ini akan menyakiti seseorang?

Jika jawabannya tidak, lebih baik diam. Karena dalam diam yang bijak, terkadang iman berbicara paling lantang.

Etika Digital Kristen: Terang dan Garam di Dunia Maya (Matius 5:13–16)

Yesus tidak hanya memanggil kita menjadi terang dan garam di gereja.
Ia ingin kita bersinar juga di ruang-ruang digital di Facebook, WhatsApp, Instagram, TikTok, bahkan kolom komentar YouTube.

"Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu di sorga."  - Matius 5:16

Setiap kalimat yang kita ketik adalah cermin dari terang itu.
Apakah komentar kita membawa damai atau malah memicu debat?
Apakah unggahan kita menguatkan atau justru menyesatkan?

Sebagai garam dunia, kita dipanggil untuk memberi rasa, bukan memanaskan suasana. Untuk menjaga keseimbangan, bukan menciptakan polarisasi.

Bijak Menyaring Informasi: Jadi Filter, Bukan Corong

Informasi itu seperti air hujan. Tidak semua yang turun dari langit layak langsung diminum.
Harus ada proses penyaringan, penjernihan, bahkan penolakan.
Begitu juga dalam iman digital kita harus menjadi filter yang cerdas, bukan corong yang sembarangan.

Jangan karena berita itu viral, kita ikut menyebarkannya. Jangan karena katanya “rohani”, kita langsung percaya. Iman sejati tahu kapan harus berkata amin, dan kapan harus berkata hati-hati.

Jempol yang Mengabarkan Kasih

Di tangan kita, ada pilihan: jadi penyambung berkat atau penyambung kabar burung.
Jangan biarkan satu klik mencoreng kesaksian kita.
Lebih baik jadi terang yang menenangkan, daripada bara yang membakar diam-diam.

Mari jadi orang Kristen yang bijak, berhikmat, dan bertanggung jawab, di dunia nyata maupun dunia maya.
Karena setiap huruf yang kita ketik, bisa jadi firman kecil yang dilihat orang lain tentang Allah yang kita sembah.

V. Langkah-Langkah Praktis Mencegah Fitnah dan Hoax: Ketika Iman Bertemu Internet

Pandangan Kristen tentang Fitnah dan Hoax di Era Digital

Di dunia digital, klik adalah kuasa, dan jempol bisa jadi berkat… atau bencana.
Sama seperti lidah yang bisa menyulut api (Yakobus 3:5), sekarang jari kita punya potensi yang sama menyebar terang atau menyalakan bara.
Itulah mengapa orang Kristen zaman sekarang perlu punya “kompas iman digital” bukan hanya tahu arah, tapi juga tahu kapan harus berhenti, menunggu, dan merenung sebelum membagikan sesuatu.

Checklist Kristen Digital: Sebelum Bagikan, Periksa Hati dan Sumbernya

1. Verifikasi Sumber Berita
Jangan asal percaya karena “katanya dari pendeta”, “dapat dari grup rohani”, atau “dulu pernah viral.”
Berita yang benar tidak takut dikonfirmasi, dan kebenaran sejati tidak perlu dibela dengan cara yang salah.
Carilah sumber resmi, media kredibel, atau minimal cek silang dengan informasi yang seimbang. Dalam dunia yang penuh kabar burung, kita dipanggil untuk jadi elang yang melihat dari atas, bukan ayam yang panik karena suara ranting.

2. Berdoa Sebelum Berbagi
Kedengarannya sederhana, bahkan klise. Tapi sering kali, doa justru menjadi rem bijak di tengah dorongan emosional untuk menyebarkan sesuatu.
Berdoalah:

“Tuhan, apakah yang akan aku bagikan ini membawa damai atau kerusuhan? Kebenaran atau keraguan?”
Terkadang, dengan berdoa, kita sadar bahwa niat baik belum tentu hasilnya baik jika caranya keliru.

3. Gunakan Kasih sebagai Filter Komunikasi (Kolose 4:6)

“Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, tetapi menarik, sehingga kamu tahu bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang.” - Kolose 4:6

Sebelum kirim pesan, tanyakan:

  • Apakah ini akan membangun yang membaca?

  • Apakah ini menambah damai di hati orang lain?

  • Ataukah ini akan memicu kekhawatiran, gosip, dan perpecahan?

Kasih adalah filter terbaik. Kalau informasi itu tidak layak disampaikan dengan kasih, mungkin memang tidak layak dibagikan sama sekali.

Contoh Respons Kristen: Tanggapan Bijak di Tengah Badai Hoax

Menasihati dengan Lemah Lembut
Bila ada saudara seiman yang membagikan hoax, jangan langsung menyerangnya. Jangan pakai nada tinggi atau menghakimi.
Lebih baik datang sebagai sahabat, bukan hakim. Sapa dengan kasih, lalu tanya pelan:

“Boleh aku bantu cek kebenarannya bareng-bareng?”
Sering kali, kelembutan lebih efektif dari debat panjang yang ujung-ujungnya hanya bikin lelah jiwa.

Menegur dengan Kasih
Ada kalanya kita perlu bersuara. Tapi bersuaralah seperti Yesus menegur Petrus tegas, tapi tidak mematikan.

“Aku tahu niatmu baik, tapi yuk kita belajar bareng untuk jadi saluran berkat yang benar.”

Teguran yang keluar dari kasih bukan hanya menghentikan kesalahan, tapi juga menyelamatkan relasi.

Tidak Ikut Membagikan Hoax, Sekalipun Niatnya Baik
Kadang kita tergoda menyebar “peringatan” demi melindungi orang lain. Tapi kalau isinya belum jelas kebenarannya, lebih baik tahan dulu.
Ingat, menyebarkan hoax walau niatnya tulus, tetap bisa menimbulkan luka yang nyata.

Menjadi Tangan yang Menyembuhkan, Bukan Menyebarkan Luka

Di tengah dunia yang bising, kita dipanggil bukan untuk jadi pengeras suara hoax, tapi penyambung kasih dan kebenaran.
Karena setiap klik, setiap kata, dan setiap jempol yang kita gerakkan adalah bagian dari kesaksian hidup kita.

Mari jadi orang Kristen yang pintar dan berhikmat, yang tak hanya menyampaikan kabar baik, tapi juga menyaring dengan kasih dan doa.
Karena lebih baik kita dikenal sebagai pembawa damai, daripada pencipta kepanikan.

VI. Kesaksian & Pemulihan: Saat Pernah Terjebak dalam Fitnah

Pandangan Kristen tentang Fitnah dan Hoax di Era Digital
Semua orang pernah salah.
Ada yang salah ucap, salah langkah, dan di zaman sekarang salah kirim hoax.
Bukan karena jahat, tapi karena kurang hati-hati, terlalu terburu-buru percaya, atau terlalu ingin “menolong” tanpa periksa sumber.

Tapi kabar baiknya: Tuhan kita bukan Tuhan yang senang menghukum, tapi Tuhan yang rindu memulihkan.
Karena di dalam kasih-Nya, bahkan dari kesalahan pun bisa lahir kesaksian.

Cerita Singkat: Dari Penyebar Hoax Jadi Pelayan Kebenaran

Mari kita kenal Ibu Sari bukan nama sebenarnya.
Dulu, beliau adalah “admin aktif” di grup WhatsApp jemaat. Apa pun yang viral, dia bagikan: mulai dari ramalan kiamat, hoax tentang vaksin, sampai isu-isu tokoh gereja.
Tujuannya? Katanya sih “biar semua waspada”.

Tapi suatu hari, setelah menyebarkan info palsu yang ternyata melukai nama baik seorang hamba Tuhan, ia dihampiri oleh seseorang bukan dengan marah, tapi dengan kasih.
Mereka duduk bersama, menelusuri sumber berita, dan berdoa.

“Ibu, kebenaran itu seperti benang putih. Kalau kita tarik sembarangan, dia bisa kusut dan sulit diurai lagi.”
Kalimat itu menempel di hatinya.

Sejak hari itu, Ibu Sari berubah.
Kini, beliau dikenal sebagai "penjaga klarifikasi" di grup yang sama.
Sebelum orang lain membagikan sesuatu, merekalah yang akan tanya:

“Sudah cek sumbernya belum, Kak?”

Dari penyebar hoax jadi penjaga kebenaran. Sebuah transformasi yang hanya mungkin jika hati disentuh oleh kasih Tuhan.

Refleksi Rohani: Dari Penyesalan Menuju Pertobatan

Semua kita mungkin pernah seperti Ibu Sari.
Menyesal setelah menyadari bahwa informasi yang kita sebarkan melukai, menyesatkan, atau memecahbelah.
Tapi penyesalan yang kita bawa kepada Tuhan bukan akhir cerita itu justru langkah pertama menuju pertobatan.

“Orang yang menutupi pelanggarannya tidak akan beruntung, tetapi siapa yang mengakuinya dan meninggalkannya akan mendapat belas kasihan.” - Amsal 28:13

Pertobatan bukan sekadar berhenti menyebarkan hoax, tapi berubah arah menjadi agen damai, juru kebenaran, pelayan kasih.

Mengandalkan Roh Kudus: Penuntun di Era Serba Klik

Di zaman serba cepat ini, kita tidak bisa mengandalkan perasaan atau opini pribadi semata.
Kita butuh penuntun yang lebih tinggi dari algoritma, lebih jernih dari trending topik Roh Kudus.

Sebelum bicara, sebelum kirim, sebelum komentar, mari belajar berbisik dulu dalam hati:

“Roh Kudus, tuntunlah aku.
Jadikan mulutku saluran penghiburan.
Jadikan jemariku alat kebenaran.
Jadikan hidupku kesaksian yang hidup, bukan opini yang gaduh.”

Karena ketika Roh Kudus memimpin, setiap kata kita akan mengandung hikmat, bukan keributan.
Setiap pesan akan memulihkan, bukan melukai.

Luka Bisa Jadi Pintu Berkat

Tak ada yang terlalu jatuh untuk Tuhan angkat kembali.
Termasuk mereka yang pernah terjebak dalam fitnah atau hoax.

Karena dalam kasih-Nya, kesalahan bisa jadi sekolah.
Dan dari bekas luka, bisa tumbuh pelayanan yang indah.

Mari jadi generasi Kristen digital yang bukan hanya pintar teknologi, tapi juga penuh belas kasih, roh pertobatan, dan semangat membangun.

VII. Penutup yang Membangun: Saat Kebenaran Menjadi Gaya Hidup

Pandangan Kristen tentang Fitnah dan Hoax di Era Digital

Zaman ini adalah zaman cepat cepat baca, cepat marah, cepat sebar.
Sayangnya, yang cepat belum tentu tepat.
Dan yang ramai belum tentu benar.
Di tengah dunia digital yang gaduh oleh kabar simpang siur, orang Kristen tidak bisa ikut hanyut.

Kita bukan hanya warga dunia maya. Kita adalah warga Kerajaan Sorga, yang dipanggil untuk hidup dalam kebenaran baik offline maupun online.

Kesimpulan: Lebih dari Sekadar Etika, Ini Masalah Iman

Fitnah dan hoax itu bukan sekadar kesalahan komunikasi.
Bukan cuma soal “adab bermedsos.”
Ini adalah masalah spiritual, karena kebenaran adalah karakter Allah sendiri.
Dan setiap kali kita memutarbalikkan kebenaran, kita sedang menjauh dari wajah-Nya.

Sebaliknya, setiap kali kita memilih diam daripada menyebar dusta, atau menyuarakan kasih daripada memancing emosi, kita sedang membawa cahaya Kristus ke dunia yang kusam.

Seruan Gembala: Umat yang Menjaga Nada dan Nada Bicara

Mungkin kita tak bisa menghentikan semua hoax yang beredar.
Tapi kita bisa memutus rantainya di tangan kita.
Kita bisa jadi filter kasih, bukan corong kemarahan.
Kita bisa jadi penyaring damai, bukan amplifier kekacauan.

“Mari menjadi umat yang tidak sekadar membungkam hoax,
tapi juga menyuarakan kebenaran kasih Kristus.”
Karena Injil bukan hanya tentang apa yang kita percayai,
tapi juga tentang bagaimana kita menyampaikan segala sesuatu dengan kasih dan terang.

Ayat Penutup: Firman yang Menjadi Kompas Digital

“Janganlah kamu menyebarkan kabar bohong…” - Keluaran 23:1a

“Apa pun yang benar, yang mulia, yang adil, yang suci, yang manis, yang sedap didengar, yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” - Filipi 4:8

Ketika kita menjadikan kebenaran sebagai budaya hidup,
ketika kita menjadikan kasih sebagai gaya komunikasi,
maka kita tidak hanya menangkal hoax…
kita sedang memperkenalkan Yesus Sumber Kebenaran itu sendiri. - (pr)**

Tonton juga Video Refleksinya : 

by: y.lomang,pengaj. ;  writer/editor: penaRadmin

Shalom, semuanya, Salam Sejahtera. Terima Kasih telah membaca tulisan ini. Silahkan, temukan kami dan dapatkan informasi terubdate lainnya, cukup dengan Klik Mengikuti/follow kami di Google News DISINI. than's. God bless. 

© 2025 All Right Reserved - Designed by penarohani 

0Comments